Monday, April 22, 2019

Suara Guru





Para guru yang berasal dari sejumlah daerah di Indonesia itu menggelar aksi demonstrasi di seberang Istana sejak Selasa 30/10, CNNIndonesia (31/10). Tidak hanya itu, mereka pun menginap di tempat itu dengan kondisi yang serba seadanya. Mereka meminta agar Presiden Jokowi segera mengambil keputusan mengangkat semua honorer K2 tanpa tes dan tanpa batasan usia.
Persoalan guru honorer seolah tidak pernah selesai. Banyak kalangan menyayangkan sikap penguasa yang seolah hanya memberi janji di awal kampanye. Janji bahwa kualitas pendidikan secepat mungkin ditingkatkan melalui kurikulum dan kompetensi guru. Disertai dengan peningkatan kompetensi guru yang merata, tak hanya untuk guru PNS tapi juga honorer.
Akan tetapi ketika berkuasa, lupa untuk memperhatikan nasib guru honorer. Padahal sudah bertahun-tahun lamanya. Hingga akhirnya setiap kali Hari Guru, mereka turun ke jalan demi memperjuangkan nasib. Ironisnya, penguasa seolah menutup mata terhadap para guru honorer tersebut yang mendapatkan gaji sekitar Rp400.000 hingga Rp500.000 per bulan. Bahkan lebih besar upah buruh, dibanding guru honorer.
Pada 2018, kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, pemerintah akan merekrut sebanyak 112.000 guru pegawai negeri sipil. Para guru honorer bisa mengikuti tes, namun usia maksimal 35 tahun. Kebijakan tersebut sebagai bentuk kepedulian pemerintah terhadap nasib guru honorer yang sudah lama mengabdi. Sementara itu Presiden Joko Widodo enggan berkomentar soal aksi unjuk rasa para guru honorer di depan Istana, ketika ditemui wartawan dalam Sains Expo di ICE, BSD, Tangerang Selatan, Kompas.com (1/11).
Bukan hanya enggan berkomentar, bahkan presiden tidak menemui para demonstran. Bahkan perwakilan dari pemerintah, hanya menampung aspirasi, tak mampu memberi solusi. Padahal pemerintah diharapkan berpihak pada nasib guru honorer. Sebab para guru menjadi bagian penting dalam usaha mencerdaskan anak bangsa.
Sungguh mengherankan betapa guru honorer begitu sulit mengikuti CPNS. Sementara dari sisi loyalitas dengan penghasilan minim, para honorer mampu mengabdi hingga belasan tahun. Bahkan ada yang lebih dari 15 tahun. Tapi pembatasan usia, menjegal mereka untuk mendapatkan status yang lebih baik.
Karena terbukti hanya sebagian kecil saja yang mampu ikut seleksi CPNS. Kesejahteraan dalam arti luas bukan hanya persoalan gaji semata, melainkan lebih dari itu, juga menyangkut apresiasi kepangkatan, pengembangan kapasitas (capacity building), perlindungan hukum, dan lain sebagainya. Namun demikian, di tengah nasib guru yang belum baik ini, seorang guru haruslah terus memperbaiki kualitas dan potensi diri.
Meningkatkan profesionalisme, kemampuan akademis, kreatifitas, dan keuletan haruslah menjadi tekad utama sebagai pendidik generasi bangsa. Guru harus senantiasa mengembangkan keahlian, pengetahuan dan keyakinan untuk mengeksplorasi metode-metode baru baik kompetensi pedagogig, sosial, kepribadian, dan profesional dalam rangka mencapai prestasi terbaik.
Guru Di Dalam Islam
Imam Ad Damsyiqi telah menceritakan sebuah riwayat dari Al Wadliyah bin Atha yang menyatakan bahwa di kota Madinah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin Khatthab memberikan gaji pada mereka masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar= 4,25 gram emas). Berarti sekitar 43 juta rupiah dengan kurs sekarang (1 gram= 679 ribu rupiah). Sebagai perbandingan, saat ini gaji guru di negeri kita berada pada kisaran 2 juta, guru honorer 300 rb. Maka gaji guru sekarang hanya 1/21 dari gaji guru pada masa Khalifah Umar.
Pada masa Rasulullah, sebagai kepala negara, beliau membebankan biaya pendidikan ke baitul maal. Rasulullah juga pernah menetapkan kebijakan terhadap tawanan perang Badar. Apabila seorang tawanan telah mengajar 10 orang penduduk Madinah membaca dan menulis, akan dibebaskan sebagai tawanan. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan adalah perkara yang penting.
Inilah negeri yang diatur dengan sistem Islam. Bukan hanya rakyat yang sejahtera. Tapi guru juga sejahtera. Dan ini berpengaruh untuk menghasilkan generasi emas bagi sebuah negara maju yang menguasai dunia. Sebab pendidikan dipandang sebagai sebuah investasi. Mencetak pemimpin peradaban mulia, demi kebangkitan umat.Tidak ada celah bagi umat untuk menjadi bodoh. Khalifah mensejahterakan guru demi ketinggian berpikir umat.
Belajar menjadi murah pada masa Khilafah. Akses mendapatkan ilmu dipermudah. Negara mempromosikan ilmu, sehingga umat senang menuntut ilmu. Orang kaya berlomba mewakafkan fasilitas belajar. Orang miskin pun tidak terhalang untuk belajar. Pendidikan mendapat perhatian besar. Di Spanyol, sekolah-sekolah sama sekali gratis. Bahkan untuk orang Badui yang sering berpindah tempat tinggal, dikirim guru kepada mereka. Yang siap mengikuti kemana mereka pergi.
Bahkan ketika Eropa abad 9 hingga 12 Masehi, tingkat buta hurufnya mencapai 95%. Di negara Khilafah jutaan anak di desa dan kota mengeja huruf dan menghafal Alquran. Anak-anak semua kelas sosial mengunjungi pendidikan dasar dengan biaya yang terjangkau. Mereka duduk di hamparan karpet. Bagai bunga-bunga yang bermekaran di musim semi. Tidak ada satu negara pun yang mampu menandingi kemuliaan Khilafah dalam menjaga pemikiran umat.
Bandingkan dengan kondisi negeri kita saat ini. Bukan hanya asas pendidikan yang keliru, karena tidak diarahkan pada qiyadah fikriyah Islam. Tapi juga kondisi guru yang memprihatinkan. Inilah yang membuat visi mencetak generasi peradaban seperti usaha yang sia-sia. Sebab pada akhirnya kehancuran peradaban manusia tinggal menunggu waktu saja. Oleh sebab itu kembali pada kejayaan Islam dengan mengembannya sebagai suatu sistem kehidupan, tidak bisa ditunda lagi.
Wallahu ‘alam biash showwab.
Sumber referensi: TSQ Stories oleh Dr. -Ing. Fahmi Amhar
http://mediasiar.com/suara-guru/

1 comment: