Cahaya Redup

0 Comments


"Kirain kalau sudah tua nggak akan berantem?! Eh, ini koq masih suka kesel-keselan", kata anakku pada suatu hari. 
Iya juga sih, mengapa mesti berselisih paham ya? Dengan teman sendiri sesama muslim? Wah, rasanya nggak banget deh bunda. Tapi benar, memang hal itu yang terjadi.

Malah ada kondisi yang lebih parah, yaitu setiap ada pertemuan diskusi, yang terjadi adalah saling diam. Bertatapan wajah pun enggan. Garing. Rasanya tidak betah ada di acara tersebut. Mati gaya. Ingin segera pulang. Ternyata memang susah ya jika perempuan-perempuan tua ini berselisih paham.

Bukankah sepatutnya perempuan paruh baya, perempuan usia senja, sama-sama lebih mudah untuk lapang dada? Mudah menerima kekurangan orang lain? Mudah memaafkan? Mudah mengerti? Tapi ternyata tidak. Selama kita masih hidup, ada gharizah baqa, naluri mempertahan diri. Akhirnya yang terjadi masing-masing saling beradu argumentasi. Merasa benar. Dialog pun menjadi ajang debat kusir. Sehingga diperlukan pihak ketiga untuk menengahi. Meluruskan persoalan.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam, bersabda: 

"Di sekitar 'Arasy ada mimbar-mimbar cahaya. Di dalamnya ada orang-orang berbaju cahaya, dan wajah-wajah mereka juga bercahaya. Mereka bukan nabi atau syuhada. Nabi dan syuhada pun kagum karena ingin memperoleh hal seperti mereka"

Sahabat bertanya, "Siapakah mereka itu, ya Rasul?"

Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam menjawab, "Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai karena Allah, saling berbagi karena Allah, dan saling memperhatikan karena Allah".
(HR. Bukhari, derajat: Shahih)

Inilah yang membuat cahaya menjadi redup. Tak terlihat. Yaitu ketika masing-masing menunjukkan egonya.
Padahal mimbar cahaya adalah gambaran keindahan. Setiap kita yang berada dalam satu visi dan misi dengan niat Lillah, pasti ingin ke sana bersama-sama orang-orang yang kita sayangi. 

Ternyata semakin diuji dengan sejumlah persoalan. Diuji dengan marah dan benci, persahabatan malah semakin kokoh. Karena akidah menjadi pondasinya.

 Akhirnya atas ijin Allah hati-hati kami menyatu kembali. Perekatnya akidah. Kami harus kembali kepada tujuan awal menjalin ukhuwah, bahwa cinta dan benci hanya karena Allah. 

Gharizah baqa' atau naluri mempertahankan diri ditundukkan dan dikendalikan oleh iman. 

Jika di awal perkara kita sudah berazam bahwa Allah adalah Rab Al-Mudabbir. Maka kita akan rela diatur Allah. Bukan rela diatur oleh perasaan kita sendiri. Bukan juga oleh gharizah baqa. Itulah kuncinya. Indahnya hidup dalam Islam. 

Hal itulah yang terjadi pada kami. Maka mulailah kami saling mengunjungi lagi. Mencari waktu-waktu untuk bersama di luar aktifitas rutin seperti kajian dan diskusi. 

Alhamdulillah, setelah menempuh berbagai peristiwa 'makan hati' yang tidak sedikit. Akhirnya masing-masing memang harus berbesar hati mengakui kesalahan. Saling memaafkan. Menurunkan ego yang telanjur naik ke kepala.

Maka akhirnya mimbar cahaya mulai terlihat lagi. Tampak terang. Cahayanya berpendar indah. Menjadi tujuan saat pulang ke kampung akhirat. Benar adanya bahwa menuju surga, kita tak mampu sendiri.

Kabar gembira bagi orang-orang yang saling mencintai karena Allah, harus selalu diulang-ulang. Agar menjadi penyemangat di kala futur. Percaya bahwa Rasulullah tidak mungkin berdusta. Kata-kata beliau terbimbing oleh wahyu.  Serta percaya bahwa janji Allah Subhaanahu Wa Ta'ala adalah benar. Menjadi kabar gembira bagi orang-orang beriman. Inna ma'al mukminuuna al ikhwah.

Cirebon, 12/8/2018

#sarapankata
#kmobatch14
#kmoIndonesia
#IndonesiaMenulis
#day20







Lagu 'Thats whats friends are for'

https://pin.it/4axcy2cj6evle2


You may also like

No comments:

Powered by Blogger.