(In Memoriam yang kami kasihi, Ayahanda Hari Moekti)

Aku ingat waktu pertama kali kita bertemu, wahai ayahanda. Tepat 10 tahun yang lalu. Ketika engkau datang ke kota kami, Cirebon, memberi tausiyah. Memberi nasihat untuk banyak orang. Aku adalah salah satu yang tersentuh nasihatmu. Tersentuh dakwahmu. Di situlah kita bertemu.


Kita yang sama-sama berada di dunia dakwah. Belajar di sekolah yang sama, Hizbut Tahrir. Engkau kakak kelasku, karena kau belajar lebih dulu daripada aku. Kitab yang kau pelajari sudah lebih banyak dibandingkan aku. Aku pelajar baru. Belajar kitab awal 'Nizhomul Islam'.


Aku ingat saat itu kau katakan, "Ketika kita mengkaji di Hizbut Tahrir, mempelajari 4 kitab pertama. Maka tiba-tiba dada kita terasa penuh sesak oleh ilmu". Dengan kata-katamu yang tegas. Serta senyum yang tak pernah lepas dari wajahmu. Aku tercenung mendengar itu. Caramu menyampaikan seolah ingin membuatku yakin.


Tapi ajaibnya kata-katamu itu aku bawa pulang. Aku berpikir lama sekali. Bahkan aku ingat itu sampai sekarang. Di antara semua persoalan yang mengisi ruang-ruang di kepalaku. Nasihatmu laksana cahaya, tak pernah padam.


Ya Allah, Zat Yang Maha Menguasai Ilmu. Hatiku selalu bergetar mengingat itu. Usiaku 40 tahun waktu itu. Mengkaji Islam dengan kemampuan bahasa arab yang terbata-bata dan ala kadarnya. Aku diserang gamang tingkat tinggi apakah akan terus belajar di sini, atau berhenti. Ragu bahwa orang sepertiku memiliki kontribusi terhadap kebangkitan Islam.


Sungguh tepat hadirmu waktu itu,wahai ayahanda. Allah menuntunmu untuk menemui aku yang lemah. Mudah putus asa dalam menuntut ilmu. Nasihatmu menguatkanku. Menyejukkanku. Laksana segelas air segar di tengah dahaga.


Dan ternyata apa yang kau katakan itu benar, ayahanda. Selesai 1 kitab, lanjut ke kitab berikutnya. Akhirnya tanpa terasa ingin mempelajari semua. Rindu untuk menguasai ilmu. Malah akhirnya aku takut jika seandainya umurku habis dan tak sempat mempelajari banyak hal. Tentang Sistem Ekonomi Islam, Sistem Pergaulan Islam, Sistem persanksian dan yang lainnya.


Benar ayahanda, dadaku penuh sesak oleh ilmu. Baru 4 kitab dasar tapi telah tergambar betapa indahnya Islam. Betapa luar biasa perjuangan Rasulullah. Betapa sayang Allah terhadap hambaNya. Dan betapa berat kondisi umat jika satu persatu pejuangnya mudah putus asa seperti aku.


Engkau mengajarkan keteguhan hati. Sungguh-sungguh menegakkan yang hak. Aku menaruh hormat padamu. Kisah hijrahmu, adalah 1 banding 1000. Sedikit orang yang mampu sepertimu. Tapi engkau yang 1, menjadi contoh bagi yang lain. Engkau diikuti 999 yang lain.


Dalam salah satu haditsnya Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya di sekeliling ‘Arsy terdapat beberapa mimbar yang terbuat dari cahaya. Di atas mimbar itu terdapat sebuah kaum yang pakaian mereka terbuat dari cahaya dan wajah mereka bersinar. Mereka itu bukan para nabi dan juga bukan para syuhada’, para nabi dan para syuhada’ menginginkan kedudukan seperti mereka.”
Lalu Abu Hurairah berkata, “Wahai Rasulullah, sebutkan sifat mereka kepada kami.” Lalu Rasulullah bersabda, “Mereka adalah orang-orang yang saling cinta karena Allah, selalu duduk bersama (membahas perihal agama) karena Allah, dan saling berkunjung karena Allah.” (HR An-Nasa’i).


Lihatlah ayahanda, indahnya mimbar-mimbar cahaya yang digambarkan Rasulullah. Rasul tidak mungkin berdusta. Kata-katanya selalu benar. Kabar gembira bagi orang-orang beriman. Pulanglah ayahanda, pergilah dengan tenang. Kami melepasmu dengan seluruh cinta.


Kelak kami akan menyusulmu. Satu persatu pejuang syariah dan khilafah in syaa allaah akan kembali kepada Rab Sang Pencipta, Penguasa Semesta Alam. Bersaksi bahwa kita dulu berjuang mengajak umat untuk menerapkan syariat, meninggikan kalimat Allah.




Someday, somewhere, jika Allah Subhaanahu Wa Ta'ala ijinkan, kita akan bersama-sama berada di mimbar cahaya yang indah itu aamiin.

Lulu Nugroho (muslimah revowriter)

Ilustrasi gambar. Koleksi foto Ustaz Arifin Ilham
Powered by Blogger.